Sejarah Kota Kendal
(Babad Tanah Kendal, karya Ahmad Hamam Rochani)
Setiap keberadaan suatu bangsa atau daerah tidak pernah lepas dari
sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah meninggalkan
begitu saja sejarah bangsa tersebut.
Sejarah Kendal sendiri dalam
buku "Babad Tanah Kendal" karya Ahmad Hamam Rochani, menyebutkan banyak
sekali yang melatar belakangi nama Kendal. Ada yang menyebut dengan
Kendalapuraatau
Kontali atau
Kentali. Namun Babad Tanah Jawi menyebutnya bahwa Kendal berasal dari nama sebuah pohon, yaitu
Pohon Kendal.
Begitu pula tentang Kendal sebagai sebuah negeri, memang tenggelam oleh
kerajaan atau negeri-negeri besar. Namun pada akhirnya negeri Kendal
menjadi catatan sejarah nasional dan bahkan internasional karena catatan
sejarahnya disimpan di sebuah perguruan tinggi terkenal di Nederland
yaitu
Universitas Leiden Belanda. Menurut Penulis, dipakai kata
babad karena kupasannya dari cerita yang mengandung sejarah. Kalau diartikan secara umum
Babad Tanah Kendal artinya
cerita sejarah tentang tanah Kendal. Oleh karena itu, penekanan dalam
hal ini adalah cerita, bukan sejarah yang harus dibuktikan dengan fakta.
Sehingga mungkin akan dijumpai hal-hal yang kadang lain di telinga atau
bertentangan dengan pemahaman yang sudah melekat erat di pikiran
masyarakat
KENDAL PADA MASA AKHIR KERAJAAN MAJAPAHIT
Suatu
hari, Sang Prabu Brawijaya bersemedi memohon pada yang Mahakuasa. Hasil
semedinya cocok dengan pelaporan para ahli nujum kerajaan. Majapahit
yang agung dan termasyhur akan segera beralih tempat. Namun pemegang
kekuasaan tetap berada di tangan keturunan sang prabu. Rajanya akan
ditaati seluruh rakyat Jawa Dwipa bahkna nusantara. Sang prabu lalu
jatuh sakit. Mendapat wisik, penyakit akan sembuh bila Sang Prabu mau
mengawini seorang puteri berambut keriting dan kulit kehitam-hitaman,
Puteri Wandan Tetapi setelah Puteri Wandan mengandung, Sang Prabu
terusik lagi oleh pelaporan para nujum kerajaan, bahwa sang bayi kelak
akan membawa bencana. Ya, inilah awal kehancuran Majapahit. Tak pelak
sang bayi diserahkan kepada seorang petani, dan jauh dari pusat
kerajaan. Bayi itu adalah Bondan Kejawan, yang kemudian menurunkan Ki
Getas Pendowo - Ki Ageng Selo - Ki Ageng Henis - Sunan Laweyan. Dari
lelaki desa yang lugu tapi penuh
sasmita itu, lahir sang Pemanahan, dan berdirilah Mataram.
Sunan Katong dan Pakuwojo: asal-usul nama Kendal
Bathara
Katong atau Sunan Katong besama pasukannya mendarat di Kaliwungu dan
memilih tempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak kuntul
melayang. Beberapa tokoh dalam rombongannya antara lain terdapat tokoh
seperti Ten Koe Pen Jian Lien (Tekuk Penjalin),Han Bie Yan (Kyai
Gembyang) dan Raden Panggung (Wali Joko).
Penyebaran Islam di
sekitar Kaliwungu tidak ada hambatan apapun. Sedangka memasuki wilayah
yang agak ke barat, ditemui seorang tokoh agama Hindu/Budha, bahka
disebutkan sebagai mantan petinggi Kadipaten di bawah Kerajaan Majapahit
untuk wilayah Kendal/Kaliwungu, bernama
Suromenggolo atau
Empu Pakuwojo.
Dikatakan dalam cerita tutur, ia seorang petinggi Majapahit dan ahli
membuat pusaka atau empu. Ia seorang adipati Majapahit yang pusat
pemerintahannya di Kaliwungu/Kendal. Untuk meng-Islamkan atau menyerukan
kepada Pakuwojo supaya memeluk agam Islam, Tidaklah mudah sebagaimana
meng-ISlamkan masyarakat biasa lainnya. Biasanya sifat gengsi dan merasa
jad taklukan adalah mendekati kepastian. Karena ia merasa punya
kelebihan, maka peng-Islamannya diwarnai dengan adu kesaktian,
sebagaimana Ki Ageng Pandan Aran meng-Islamkan para 'Ajar' di perbukitan
Bergota/Pulau Tirang.
Kesepakatan atau persyaratan dibuat dengan
penuh kesadaran dalam kapasitas sebagai seorang ksatria pilih tanding.
"Bila Sunan Katong sanggup mengalahkannya, maka ia mau memeluk agama
Islam dan menjadi murid Sunan Katong", demikian sumpah Pakuwojo di
hadapan Sunan Katong. Pola dan gaya pertrungan seperti it memang sudash
menjadi budaya orang-orang dahulu. Mereka lebih menjunjung sportivitas
pribadi.
Dengan didampingi dua sahabatnya dan satu saudaranya,
pertarungan antarkeduanya berlangsung seru. Selain adu fisik, mereka pun
adu kekuatan batin yang sulit diikuti oleh mata oran awam. Kejar
mengejar, baik di darat maupun di air hingga berlangsung lama dan
Pakuwojo tidak pernah menang. Bahkan ia berkeinginan untuk lari dan
bersembunyi. Kebetulan sekali ada sebuah pohon besar yang berlubang.
Oleh Pakuwojo digunakan sebagai tempat bersembunyi dengan harapan Sunan
Katong tidak mengetahuinya. Namun berkat ilmu yang dimiliki, Sunan
Katong berhasil menemukan Pakuwojo, dan menyerahlah Pakuwojo.
Sebagaimana janjinya, kemudian ia mengucapkan dua kalimat syahadat
sebagai tanda masuk Islam. Oleh Sunan Katong, pohon yang dijadikan
tempat persembunyian Pakuwojo diberi nama
Pohon Kendal yang artinya
penerang.
Di tempat itulah Pakuwojo terbuka hati dan pikirannya menjadi terang
dan masuk Islam. Dan Sungai yang dijadikan tempat pertarungan kedua
tokoh itu diberi nama
Kali/Sungai Kendal, yaiut sungai
yang membelah kota Kendal, tepatnya di depan masjid Kendal. Pakuwojo
yang semula oleh banyak orang dipanggil Empu Pakuwojo, oleh Sunan Katong
dipanggil dengan nama Pangeran Pakuwojo, sebuah penghargaan karena ia
seorang petinggi Majapahit. Setelah itu ia memilih di desa Getas
Kecamatan Patebon dan kadang-kadang ia ebrada di padepokannya yang
terletak di perbukitan Sentir atau GUnung Sentir dan menjadi murid Sunan
Katong pun ditepati dengan baik. Sedangkan nama tempat di sekitar pohon
Kendal disebutnya dengan
Kendalsari.
Masih ada keterangan lain yang ada hubungannya dengan nama Kendal. Dikatakannya bahwa nama Kendal berasal dari kata
Kendalapura.
Dilihat dari namanya, Kendalapura ini berkonotasi dengan agama Hindu.
Artinya, bahwa Kendal sudah ada sejak agama Hindu masuk ke Kendal. Atau
paling tidak di dalam berdo'a atau mantera-mantera pemujaan sudah
menyebu-nyebut nama Kendalapura. Ada juga keterangan yang menerangkan
bahwa Kendal berasal dari kata
Kantali atau
Kontali.
Nama itu pernah disebut-sebut oleh orang-orang Cina sehubungan dengan
ditemukannya banya arca di daerah Kendal. Bahkan disebutkan oleh catatan
itu bahwa candi-candi di Kendal jauh lebih tua dari candi Borobudur
maupun candi Prambanan. Temuan-temuan itu patut dihargai dan bahkan bisa
menjadi kekayaan sebuah asal-usul, walaupun kebanyakan masyarakat lebih
cenderung pada catatan Babad Tanah Jawi yang menerangkan bahwa nama
Kendal berasal dari sebuah pohon yang bernama pohon Kendal.
Kecenderungan
itu karena dapat diketahui tentang tokoh-tokohnya yaitu Sunan Katong
dan Pakuwojo yang mendapat dukungan dari Pangeran Benowo. Selain itu
catatan-catatan pendukung lainnya justru berada di
Universitas Leiden, Belanda,
sebuah perguruan tinggi terkenal yang banyak menyimpan catatan sejarah
Jawa. Akan halnya cerita Sunan Katong dan Pakuwojo dalam legenda yang
telah banyak ditulis itu menggambarkan sebuah prosesi, betapa sulitnya
merubah pendirian seseorang, terlebih menyangkut soal agama/keyakinan.
Cerita-cerita itu menerangkan bahwa antara Pakuwojo dan Sunan Katong
pada akhirnya tewas bersama (sampyuh). Cerita yang sebenarnya tidaklah
demikian. Cerita itu maksudnya, begitu Pakuwojo berhasil dibuka hatinya
oleh Sunan Katong, dan Pakuwojo mau mengucapkan dua kalimat syahadat dan
menjadi murid Sunan Katong, berarti antara kedua tokoh itu hidup rukun
sama-sama mengembangkan agama Islam.
KENDAL MENJADI KABUPATEN
Sang
nujum itu benar-benar titis pikir. Puteri Bondan Kejawan beriringan
kasih sayang dengan KiAgeng Ngerang. Tuturnya dari sini lahir sang Bahu,
sorang cicit yang berdampingan dengan Pangeran Benowo sang Mahkota
Pajang. Ikatannya ditali dengan batin seperguruan sang leluhur. Setia
tak gampang merekah. Tanah Kukulan mengantar sang Bahurekso berdekat
diri dengan orang agung dari Mataram, dimulai dari anugerah nama, Kyai
Ngabehi Bahurekso, dan selanjutnya Raden Tumenggung Bahurekso, sang
Adipati Kendal. Alas Roban dan Alas Gambiran, Batang dan Pekalongan
karya utama sang Bahu, yang berdampingan dengan pengejawantahan
Nawangsari sebidadarian dengan Nawangwulan. Sang kekasih Bahurekso
terpatri di hati dengan sebutan
Dewi Lanjar. Magangan,
Plantaran, Kali Aji, Sabetan dan Ngeboom merupakan saksi bisu dan
monumen yang terlupakan dari sejarah sebuah kabupaten di Kaliwungu.
Pusat budaya. Kota kecil itu menjadi kota besar, dan dari Klaiwungu
berhasil menembus Batavia pada Kaladuta. Nama Kendal tidak lagi
menasional tetapi telah melangit di tingkat internasional. Sang
Bahurekso, adipati, gubernur pesisir Jawa dan dan panglima perang.
Siapa Kyai Kendil Wesi? : adakah hubungannya dengan Bagus Menot
Siapakah Kyai Kendil Wesi itu?
Menurut
catatan Amien Budiman, Kyai Kendil Wesi itu nama aslinya adalah
TUmenggung Singowijoyo. Bupati Kendal ini tewas di gunung Tidar Magelang
ketika terjadi geger Pakunegaran. Kemudian ia digantikan oleh
kemenakannya dengan gelar Tumenggung Mertowijoyo. Dan setelah meninggal
digantikan oleh adiknya dengan nama kehormatan yang sama yaitu
Tumenggung Mertowijoyo, yang meninggal di Loji Semarang. Tumenggung ini
mempunyai putera yang bernama Mertowijoyo yang kemudian lebih dikenal
dengan Mertowijoyo I.
Sedangkan catatan yang beredar di Kendal menerangkan bahwa yang
dimaksud Kyai Kendil Wesi adalah bupati Kendal yang memiliki nama
Mertowijoyo II, adik dari Tumenggung Singowijoyo yang memerintah pada
tahun 1700 - 1725. Meninggal dan dimakamkan di pemakaman Pekuncen
Kendal. Sedangkan pusakanya yang bernama Kendil Wesi diwariskan pada
puteranya yang namanya juga nunggak semi dengannya yaitu Mertowijoyo
III. Setelah meningal dunia, jenazah dan pusaka Kendil Wesinya
dimakamkan di bawah pohon Doropayung Desa Sukolilan Patebon Kendal.
Nama Mertowijoyo jgua ditemukan dalam buku Serat Babad Negari Semarang
dan Babad Mentawis. Dalam Serat Babad Nengari Semarang diterangkan bahwa
nama Mertowijoyo itu masih ada hubungannya dengan Ki Ageng Pandan Aran I
(Ki Mode Pandan), penguasa Semarang atau Tirang Amper, yang berarti ada
hubungan garis keturunan dengan Raden Fatah, Sultan Demak. Lengkap
silsilahnya disebut sebagai berikut; Raden Fatah (Demak) berputera
Pangeran Sabrang Lor, berputera Pangerawn Pandan Aran I (Ki Mode
Pandan), berputera Pangeran Kanoman bupati Semarang (adik Sunan
Tembayat), berputera Kyai Khalifah, berputera Kyai Laweyan, berputera
Kyai Sumendhi (Kyai Alap-alap, bupati Semarang), berputera Kyai Rangga
Hadi Negoro (Surahadimenggala ke-2, bupati Semarang), berputera Kyai
Ronggo Mertoyuda (Surahadimenggala ke-3, bupati Semarang), berputera
Kyai Mertowijyoyo.
Namun menurut cerita yang dicatat dala buku peninggalan-peningglan
kunodi Kendal disebutkan bahwa Mertowijoyo berasal dari Lumajang. Karena
ada selisih keluarga dengan adiknya, ia mengalah dan membawa
pengikutnya berlayar dan akhirnya terdampar di Kendal.
bersama
pengikutnya ia membuka suatu daerah sebagai tempat tinggal, dan karena
ia mempunyai sebauh pusaka yang berwujud kendil terbuat dari bes, maka
ia terkenal dengan nama Kyai Kendil Wesi. Ia meninggal ketika geger
pakunegaran di gunung Tidar Magelang, dan jenazahnya dimakamkan di
Pekuncen Kendal. Sedangkan jabatan bupati jatuh ke tangan Mertowijoyo
III, putera Mertowijoyo I berikut pusakanya.
Kemudian siapa yang dimaksud dengan Bagus Menot?
Diceritakan bahwa ia putera Tumenggung Mertowijoyo. Namun tidak jelas
Mertowijoyo yang mana. Namun kalau dilihat dari cerita yang beredar di
Kendal bahwa ia adalah putera adipati tetapi akhir hayatnya
mukso tanpa
nama. Bisa jadi ia adalah putera Adipati Mertowijoyo I. Sebab, ketika
Mertowijoyo I meninggal dunia, jabatan bupati diwakili oleh
patihnyasendiri (lihat dan perhatikan dalam
nama-nama Bupati Kendal di bagian akhir).
Seperti diceritakan oleh juru kunci makam Bagus Menot, Pak Puji (50),
serta para orang tua yang suka dengan cerita tempo dulu, bahwa Bagus
Menot adalah putera seorang adipati. Ketika ayahnya kembali dari
berperang (geger Pakunegaran) ia dalam keadaan terluka parah karena
terkena sabetan senjata. Sedangkan isterinya dalam keadaan hamil.
Sebelum Mertowijoyo meninggal dunia, ia berpesan kepada semua kerabat
bahwa kelak yang menggantikan dirinya menjadi bupati Kendal adalah
putera yang masih dalam kandungan. Bila ia nanti lahir laki-laki, harap
diberi nama
Jaka Aminoto. Dan apaibila menduduki kursi
bupati namanya Adipati Aminoto. Begitu pesan ayahandanya, Mertowijoyo.
Ada tuturan lagi, selain bernama Aminoto jga punya nama lain yaitu Raden
Sutejo.
Kelahiran
bayi Aminoto bersamaan dengan kematian sang ibu. Maka bayi Aminoto
dirawat oleh keluarga. Ketika mencapai usia dewasa, kira-kira 17 tahun,
malapetaka menimp dirinya. Orang yagn menduduki jabatan bupati warisan
dari ayahnya merasa resah karena pewaris yang asli sudah tumbuh dewasa.
Maka tidak ada jalan yang terbaik kecuali harus menyingkirkan sang
pewaris dengan cara apapun.
Usaha Pembunuhan pun beberapa kali dilakukan. Bahkan menurut cerita
itu, Jaka Menot pernah dilarung ke laut, namun masih bisa selamat. Dan
ketika ada usaha untuk meracuni melalui pelayan kerabat, Jaka Menot jga
selamat. Maka tidak ada jalan lain kecual harus dibunuh, tetapi ada yang
menyarankan cara itu memang kurang baik. Maka cara yang terbaik Jaka
Menot diusir dari kadipaten. Setelah meninggalkan kadipaten, maka diatur
supaya ada punggawa mengejarnya dengan maksud untuk membunuh Jaka
Menot. Ada tuturan lagi, bahwa baik orang-orang kabupaten ataupun
Belanda, merasa takut dengan kemampuan spiritual Bagus Aminoto.
Diterangkan, kemampuan seorang remaja yang baru berusia belasan tahun
sudah diketahui biasa bermain-main batu dan rumput. Konon batu-batu itu
dibuat semacam tasbih dengan cara ditusuk dengan rumput dan ternyata
bisa tembus.
Jaka Menot lari ke arah barat dan ternyata banyak
juga orang merasa iba, karena para punggawa kakdipaten tersu mengejarnya
untuk membunuh. Kenmudian ia ditolong oleh seorang tua. Namun
pengejaran tersu dilakukan, dan orang tua yang diketahui menolong Jaka
Menot, dibunuh. Kepalanya terpisah dari badannya, dan kakinya juga
dipotong. Hanya tinggal badan (gembung). Di kemudian hari nama tempat
membunuh orang tua itu terkenal dengan nama
Bugangin.
Jaka Menot terus berlari mencari selamat. Karena merasa capek, ia
beristirahat di sebuah pohon pinang (jambe). Ia terus dikejar oleh
punggawa kadipaten. Setelah melihat para punggawa terus mengejar, Jaka
Menot terus lari. Ketika para punggawa sampai di bawah pohon jambe itu,
tercium bahwa ada bau harum pada pohon jambe. Maka tempat itu dinamakan
Jambearum.
KABUPATEN KENDAL DI KALIWUNGU
Kaliwungu, disebut juga
Lepen Wungu (sejarah Bagelen),
Lepen Tangi (Babad Sultan Agung),
Caliwongo (Francois
Valentiju), daerah yang dipilih oleh Bahurekso sebagai pusat
pemerintahan sebuah Kadipaten. Pada saat itu Kaliwungu adalah daerah
yang telah dibangun oleh Sunan Katong yang kemudian dikembangkan oleh
ulama Mataram Panembahan Djoeminah. Upaya pengembangan diteruskan oleh
ulama yang punya garis keturunan dengan Sunan Giri, yaitu
Kyai haji Asy'ari atau
Kyai Guru,
yang datang ke Kaliwungu pada beberapa tahun kemudian. Kaliwungu memang
daerah berpotensi, selain itu dari faktor geografis memenuhi syarat
sebagai daerah pertahanan.
Bandar (pelabuhan)
Jepara mengalami perkembangan yang pesat bila dibanding dengan
Bandar Bintara, Deamk. Selain itu,
Bandar Asam Arang, yang strategis menjadikan Kadipaten Kendal di Kaliwungu semakin berkembang.
Faktor strategis lainnya adalah;
Pertama, merupakan jalan lurus menuju Mataram yang berdampingan dengan kadipaten Semarang.
Kedua, memiliki pantai landai yang memungkinkan pengembangan pelabuhan armada.
Ketiga, semenmanjung dengan Jepara sehingga mudah mengamati perkembangannya.
Keempat, dekat dengan pesisir sebelah barat: Batang, Pekalongan, Tegal hingga Cirebon.
Kelima,
kondisi masyarakat pondok pesantren yang tenang sangat memungkinkan
adanya koordinasi dengan para ulama, dan tidak tertutup kemungkinan
Adipati merangkap jabatan lain.
Ancaman yang menjadi pertimbangan Sultan Mataram adalah VOC yang terus
mengembangkan sayapnya memonopoli dagang. Banten dan Batavia telah
berhasil dikuasai. Oleh karenanya pembangunan armada laut yang kuat
sangat dibutuhkan, dan dalam hal ini Sultan Agung mempercayakan pada
Adipati Kendal, Tumenggung Bahurekso. Pembangunan armada laut pun
dimulai, dengan beberapa tempat yang dijadikan pusat pelatihan armada
(prajurit).
Magangan, sebuah desa yang masuk masuk Kecamatan Pegandon (sekarang
Kecamatan Ampel), dijadikan penampungan dan pendaftaran calon prajurit.
Magangan berasal dari kata atau
Magangatau
pencalonan. Sedangkan tempat latihannya dipusatkan di desa Plantaran, sekarang masuk Kecamatan Kaliwungu. Plantaran berasal dari kata
tataran atau yang berarti
dadaran, pendadaranpusat latihan calon prajurit. Para pimpinan prajurit (armada) ditempaatkan di daerah dekat pelabuhan, namanya
Sabetan yang artinya jago atau jawara. Pelabuhan armadanya di daerah
Ngeboom yang
artinya pelabuhan atau pangkalan laut. Keduanya sekarang menjadi desa
Mororejo, Kecamatan Kaliwungu. Sedangkan transportasi yang menghubungkan
pusat pemerintahan dengan markas besar armada angkatan laut melalui
Kali Aji atau
Kali Bendo.
Awalnya, Bahurekso hanya diberi kekuasaan darat seluas wilayah
Kadipaten Kendal. Namun perkembangannya diangkat sebagai Panglima
Angkatan Laut dan Gubernur Pesisir Jawa Utara. Memperhatikan tugas-tugas
kedua dan ketiga itu, memberi gambaran bahwa Mataram menempatkan posisi
Adipati/Bupati Kendal sangat strategis yang berskala nasional pada
jamannya.
Setiap
diplomat yang akan menghadap raja, terlebih dahulu berkewajiban untuk
melapor dan meminta ijin pada Bahurekso. Pada bulan Juni 1615, ketika
Andries Soury berkeinginan
menghadap raja, maka ia harus terlebih dahulu menemui Adipati Kendal
yang jug aGubernur Jawa Utara. Satu bukti lagi yang erat hubungannya
dengan kepercayaan Sultan Agungyang diebrikan kepada Tumenggung
Bahurekso, ketika utusan dagang kedua VOC, yaitu
van Endhovenn(Juni
1618) ingin menghadap Sultan Mataram dengan tujuan ingin memperkuat dan
memperluas lojinya. Jawaban Sultan diberikan kepada utusan VOC itu
melalui Tumenggung Bahurekso.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan VOC, kebijaksanaan awal berada
di tangan Bahurekso. Perilaku kasar yang ditunjukkan ole V
an Endhoven dan
Cornelis Maseuck terhadap
para pedagang Jepara, pada akhirnya menjadi perhaatian Sultan. Mereka
memaksa agar para pedagang Jepara menjual dagangannya pada VOC, dan bila
tidak dituruti, para pedagang VOC melakukan penjarahan dan
penganiayaan. Perilauk ini harus dipertanggungjawabkan. Karena tidak ada
tanggapan dari pihak VOC, maka 18 Agustus 1618, Kantor Dagang VOC yang
ada di Jepara diserbu habis. Ada yang meninggal dan ada yang ditawan
oleh pasukan Bahurekso.
Inilah awal situasi dan kondisi yang memanas. JP. Coen, Gubernur
Jenderal Dagang VOC di Jakarta merasa tersinggung. Dengan pura-pura
berbuat baik pada pedagang Jepara dan pemerintah Mataram, JP. Coen
menemui penguas dagang Mataram di Jepara yang berpangkat Hulubalang itu,
JP. Coen ingin membeli beras dan keperluan lainnya dari masyarakat.
Setelah itu seratus enam puluh prajurit VOC menyerang rumah-rumah
rakyat, dan menewaskan tiga puluh orang. Jung-jung yang ada di pelabuhan
Jepara semua dibakar habis.
Peringatan dari VOC itu mendorong
Bahurekso memperkuat pertahanan Jepara. Prediksi akan adanya serangan
ulang dari pihak VOC, ternyata benar. Sebanyak 400 prajurit Belanda
(1619) menyerang Jepara. Namun dapat dipukul mundur oleh pasukan
Bahurekso, dan mereka harus kembali ke laut. Persaingan dagang di pantai
utara antara Mataram dengan Belanda sudah mulai memanas dan saling
menjepit.
Kerajaan
Sukadana, Kalimantan Selatan berhasil lebih dahulu dikuasai oleh
Mataram.. Belanda berusaha melakukan ekspansi dagang lewat laut dengan
daerah yang dituju Gresik dan Madura. Malang bagi Kompeni, karena tahun
1624 Kamar Dagang VOC yang ada di Gresik hancur oleh pasukan Mataram.
Persaingan semakin panas, dan Sultan Agung sendiri merasa bahwa cepat
atau lambat Kompeni akan menguasai Pulau Jawa.
Kyai Ngabehi Bahurekso
( Menurut Sastra Lisan)
Ki
Ageng Cempaluk yang juga punya nama Ki Ageng Joyo Singo atau Ki Ageng
Ngerang, adalah seorang prajurit pilih tanding Kerajaan Pajang dan
Mataram. Namun, ada keterangan lagi bahwa Ki Ageng Cempaluk adalah ayah
dari Joyosingo.
Nama Ki Ageng Ngerang yang menjadi julukannya bisa
dipahami bila Ki Ageng Cempaluk masih ada hubungannya dengan Ki Ageng
Bondan Kejawan atau Lembu Peteng, putera Prabu Brawijaya dari Majapahit,
dari keturunan ibu.
Sebagaimana disebut dalam cerita tutur ataupun
sejarh rakyat, seorang tokoh biasanya dipanggil dengan memakai panggilan
nama leluhurnya bila yang bersangkutan memiliki sifat-sifat yang sama,
yang disebut "nama nunggak semi". Nama Ki Ageng
Ngerang tokoh tua seangkatan Ki Getas Pendowo, ayah Ki Ageng Selo yang
menurunkan Ki Ageng Ngenis atau Henis dan berputera Ki Ageng Pemanahan,
ayahanda Sultan Mataram pertama, Senopati Sutowijoyo. Seperti disebut
dalam buku Babad Tanah Jawi, diterangkan sebagai berikut:
"Prabu
Brawijaya mempunyai istri (selir) bernma puteri wandan, berputera
laki-laki bernama Raden Bondan Kejawan alias Bondan Surati alias Lembu
Peteng yang kawin dengan Puteri Nawangsih puteri Ki Ageng Tarub,
berputera dua orang, Ki Getas Pendowo yang berputera Ki Ageng Selo. Anak
Ki Bondan Kejawan yang satunya, seorang puteri yang dikawinkan dengan
Ki Ageng Ngerang. Jadi hubungan antara Ki Ageng Getas Pendowo dengan Ki
Ageng Ngerang adalah saudara ipar.
Selanjutnya dengan disebutnya
nama Ki Ageng Ngerang, mengingatkan pada tiga tokoh besar bersaudara
seperguruan, yaitu Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Tingkir dan ki Ageng
Ngerang. Oleh cerita tutur, tokoh Ki Ageng Ngerang ini tidak tertutup
kemungkinan merupakan leluhur Ki Ageng Cempaluk, ayah Joko bahu, yang
kemudian hari bernama Tumengung Bahurekso. Sedangkan dalam buku Babad Tanah Jawi diterangkan
bahwa: Ki Ageng Selo mempunyai anak enam putri dan satu orang putra,
namanya Ki Ageng Ngenis, berputera Ki Ageng Pemanahan, berputera Raden
Pangeran Bagus, yang tidak lain Sutowijoyo, Panembahan Senopati.
Bila Catatan Hermannus Johannes de Graaf yang mereferensi dari buku Babad Tanah Jawi itu benar, maka Jaka Bahu atau Tumenggung Bahurekso adalah masih ad hubungan keluargamenyamping trah Mataram. Dengan kata lain Bahurekso memang bangsawan Mataram, hanya saja ia berasal dari pihak ibu.
Sedangkan menurut Amien Budiman, Jaka Bahu sebutan lainnya adalah Ki Bahu,
adalah sahabat dekat atau orang yang dipercaya oleh Pangeran Benowo.
Jaka Bahu lah yang mendampingi Pangeran Benowo mulai dari Pajang,
kemudian pindah kek Jipang dan selanjutnya mengembara hingga ke Kendal
dan Parakan. Oleh Sunan atau Pangeran Benowo, Ki Bahi diserahkan pada
Panembahan Senopati di Mataram sebagai ganti atau wakil dan atas nama
Pangeran Benowo. Bila Panembahan Senopati ada keperluan dengannya, maka
Ki Bahu lah yang menjadi wakilnya, karena memang nenek moyang Ki Bahu
masih ada hubungannya dengan nenek moyang Mataram. Dengan demikian
kedekatan Ki Bahu dengan Pangeran Benowo itu lebih berdasar pada
kesinambungan hubungan erat nenek moyangnya, yaitu antara Ki Ageng
Ngerang dengan Ki Ageng Pengging.
Baik Ki Ageng Cempaluk ataupun Jaka
Bahu memiliki hubungan sangat dekat dengan Panembahan Senopati Ing
Alogo Sayidin Panotogomo Sultan Mataram Sutowijoyo maupun Mahapatih
Mataram, Ki Mondoroko, nama kebesaran Ki Juru Martani. Karena drama
baktinya kepada kerajaan yang besar dan usianya yang cukup tua, Ki Ageng
cempaluk diberikan tanah perdekan (otonomi) di
wilayah Kesesi, sekarang masuk Kabupaten Pekalongan. Hidup bersama dua
anaknya, Joko Bahu dan seorang lagi sebagai anak angkatnya Anjarwati,
dirasakan sebagai anugrah dari Tuhan yang Mahakuasa. Di padepokan itulah
ia menghabiskan masa tuanya dengan penuh syukur pada Tuhan. Namun
sebagai orang yang telah diberi penghargaan, Ki Ageng cempaluk tetap
mencurahkan pikirannya dan sisa-sisa tenaganya untuk Mataram.
Sebagai
seorang prajurit yang hidup di dua masa, yaitu masa kerajaan Pajang dan
Mataram, dan dikenal sebagai prajurit yang mumpuni dalam bidang
kanuragan dan ketataprajaan. Sehingga ia memiliki pewaris yang bisa
melanjutkan pengabdiannya pada kerajaan.
Dituturkan, bahwa penguasa
Kadipaten Kleyangangan (Sekarang Kecamatan Subah, Batang), Adipati -
Pengalasan/Pemajegan - Tumenggung Dipokusumo, berencana meluaskan
wilayah kadipatennya ke arah timur, dengan membuka alas roban, untuk
areal pertanian dan pemukiman. Adipati Dipokusumo, sadar bahwa membuka
alas (hutan) bukan pekerjaan yang mudah dan disadari termasuk pekerjaan
yang keras. Sebuah tugas yang sangat keras dan penuh resiko, maka ia
meminta bantuan Ki Ageng Cempaluk yang terkenal sakti. Karena usia yang
mendekati udzur, maka tugas itu diserahkan pada puteranyan, Jaka Bahu.
Dengan
tetap didampingi oleh Adipati Tumenggung Dipokusumo, tugas membuat
persawahan dan pemukiman dengan membuka alas (Babat Wono Roban)
dilaksanakan dengan baik oleh Jaka Bahu. Atas keberhasilannya itu, pada
akhirnya jaka Bahu menjadi kepercayaa Adipati Dipokusumo, yang tentu
saja keberhasilan itu dilaporkan pada Sultan Agung Hanyokrokusumo.
(dalam buku Bahurekso Tapa, ada nama Jaka Sentanu - yang kemungkinannya
satu nama dengan Ki Dipokusumo). Berhasil membuka hutan Roban, Sultan
Agung menginginkan ada penambahan areal persawahan dan pemukiman, dengan
cara membuka hutan hutan (alas) Gambiran, sebuah hutan di sebelah barat
Kleyangan, yang lebih gawat daripada Roban. Dengan menelusuri sungai
Sambong yang lebar dan memanjang dari selatan ke utara, dan selanjutnya
menjadi prioritas dan sasaran pertama yang harus dikerjakan.
Dimulai
dengan membuat bendungan di sungai itu. Kawasan hutan yang telah
dikuasai oleh pendekar keals tinggi, Drubikso, merasa kehidupannya
diganggu. Tokoh sakti itu melakukan perlawanan pada Jaka Bahu. Oleh yang
punya cerita disebutkan bahwa antara kedua tokoh itu sama-sama memiliki
daya tempur yang luar biasa. Drubikso yang punya aji guntur geni berhasil dikalahkan. Drubikso dan Jaka Bahu saling memukul dengan galah atau watang (embat-embatan watang, Jawa). Tempat pertarungan kedua tokoh itu pada akhirnya disebut (berasal dari kata Batangembat-embatan watang).
Hutan
gambiran merupakan keberhasilan Jaka Bahu kali kedua, sekarang ini
tepatnya di daerah Sambong, Batang. Sedangkan pembahasan taktik dan
strategi untuk mengalahkan Drubikso, sekarang bernama Dracik yang berasal dari kata diracik.
Dan keberhasilannya membuka hutan Gambiran ini merupakan kado
persembahan terhadap tahun pertama pemerintahan Sultan Agung
(1613). Pada akhirnya Sultan Agung mengutus putera Mataram, Ki
Mandurorejo, untuk menata kembali daerah Kleyangan sepeninggal Ki
Dipokusumo. Dari sinilah awal perkenalan Jaka Bahu dengan Ki Mandurorejo
putera Ki Manduronegoro, yang berarti cucu Ki Patih Mondoroko, yang
berarti juga masih saudara dekat dengan Sultan Agung, bahkan disebutnya
sebagai mertua Sultan Agung. Seperti disebut dalam sejarah Kabupaten
Pekalongan/Batang, Tumenggung Mandurorejo diangkat menjadi Adipati pad
tahun 1922. Bila diruntut dengan cerita-cerita di atas, maka sembilan
tahun kemudian setelah hutan Gambiran bahkan di atas angka sepuluh tahun
setelah alas Roban dibuka menjadi perkampungan oleh Bahurekso,
Tumenggung Mandurorejo menduduki Pekalongan/batang sebagai adipati. Atas
jasa-jasanya itu, pada tahun yang tidak berselang lama setelah Sultan
Agung dinobatkan sebagai sultan, Jaka Bahu diberi penghargaan atas jasa
kerja kerasnya, menjadi Adipati (penguasa)Kendal,
dengan pangkat Tumenggung (1614). Tahun penobatan ini memang menjadi
perdebatan bahkan belum diyakini. Namun, catatan De Graaf, sejarawan
Belanda yang khusus menulis javanologi menyebut bahwa pada tahun 1915,
Kendal sudah ada seorang gubernur bernama Bahurekso.
Dengan
diangkatnya Tumenggung Bahurekso sebagai penguasa Kadipaten Kendal, maka
secara hirarkhi, Kadipaten Kendal di bawah langsung kerajaan Mataram.
Sebuah karya yang dihias di daerah sendiri (Kabupaten Batang sekarang
ini) sedangkan sebagai penghargaannya menjadi penguasa daerah lain.
Sedangkan daerah yang dibangunnya (sebelum menjadi adipati) pada
akhirnya bernama Kadipaten Pekalongan (termasuk Batang), oleh Sultan
Mataram diberikan kepada Mandurorejo. Inin artinya bahwa Ki Mandurorejo
datang ke daerah itu, tatanan pemerintahan sudah tertata rapi, dan
bangunan-bangunan sebagai cikal bakal pemerintahan telah ada. Dengan
berdasarkan kepentingan pertahanan kerajaan Mataram, maka oleh Bahurekso
dan atas persetujuan Sultan Mataram, menjadikan wilayah Kaliwungu
sebagai alternatif yang terbaik sebagai pusat pemerintahan. Sebutan
berikutnya Kadipaten kendal di Kaliwungu. Begitu seterusnya hingga 1811,
pemerintahan dipindahkan ke kota Kendal seperti sekarang ini. dalam
sejarah Batang sebagai ditulis oleh R. Sunaryo Basuki, ataupun
catatan-catatan Amien Budiman, bahurekso memang pernah memerintah
Kabupaten Pekalongan sebagai pejabat kerajaan. Selanjutnya oleh R.
Sunaryo Basuki juga dituturkan, ketika itu ia menunjuk Raden Tjilik atau Raden Prawiro,
seorang ulama masih keturunan ulama Sedayu, Lamongan Jawa Timur, yaitu
Sunan Nur atau Sunan Sendang sebagai Ki Ageng di Batang/Ki Ageng Gede
Batang. Hanya saja keberadaannya di Pekalongan/Batang sebagai pejabat
kerajaan, maka nama Bahureksotidak diabadikan bahkan tercatat sebagai
Bupati Pekalongan atau di Batang.
Bila diurut kapan peristiwa itu
terjadi, rasanya memang tidak sulit yaiut sebelum tahun 1614. Sebab,
Mandurorejo diaingkat sebagi Bupati batang pad hari Senin pon, 8
September 1614 (Jumat Kliwon(?). Hanya saja catatan di Pekalongan
menyebutkan bahwa walaupun Mandurorejo menjadi bupati/penguasa di Batang
tahun 1614, tetapi di Pekalongan tercatat tahun 1622/1623 Pengeran
Mandurorejo dan adiknya (Tumenggung Upasanta) menjadi adipati/penguasa
Pekalongan. Kedua daerah itu merupakan hasil kerja keras
Bahurekso. Pekalongan berasal dari kata "kalong". Cerita tuturnya, di tempat itulah Bahurekso melakukan "topo ngalong",
menggantung di pohon dan makannya hanya buah-buahan, seperti kalong,
begitu masyarakat menyebut. Usaha bertapa Bahurekso ini sehubungan
dengan pekerjaan membuat perkampungan dengan membuka hutan
Gambiran. Tidak berlebihan jika Bahurekso pada akhirnya berhasil
membangun tiga daerah pemerintahan sekaligus.
Nama Bupati Kendal dan Kaliwungu
Dalam
catatan yang ada di arsip Kabupaten Kendal, nama-nama bupati Kendal
tidak tercatat adanya nama Raden Ronggo Hadimenggolo sampai dengan
Hadinegoro III. Dengan demikian, maka sebelum pemerintahan dipindahkan
ke Kota Kendal, maka Kaliwungu merupakan induk atau pusat pemerintahan.
Sehingga tujuh orang keturunan Panembahan Djoeminah itu adalah Bupati
Kaliwungu. Di bawah ini ada catatan tentang nama-nama bupati Kendal
mulai Tumenggung Bahurekso sampai Bupati H. Hendi Boedoro, SH.,M.Si,
yang merupakan bupati ke-37.
1. Tumenggung Bahurekso
Sejak
kapan Tumenggung Bahurekso diangkat sebagai Adipati Kendal, memang
belum ditemukan data yang resmi. Tetapi H.J De Graaf, sejarawan Belanda
yang sudah berhasil menulis beberapa soal Javalogi mengatakan bahwa
tahuan 1615, ketika pertama kali utusan dagang VOC berkeinginan
menghadap Sultan Agung, Raja Mataram, diwajibkan terlebih dahulu
menghadap Tumenggung Bahurekso, Adipati Kendal. Akan tetapi ada catatan
yang menerangkan bahwa Tumenggung Bahurekso diangkat menjadi Bupati
Kendal pada hari Jumat Kliwon, tanggal 12 Robiul Awal tahun 1023 H,
bertepatan dengan dengan tanggal 8 September 1614, dengan gelar Raden
Tumenggung Bahurekso.
Akhir pemerintahannya sampai dengan 26 Agustus 1628, gugur melawan tentara Belanda di Batavia, 21 Oktober 1628.
2. Raden Ngabehi Wiroseco (1629 - 1641)
Penggati
Raden Tumenggung Bahurekso adalah Raden Ngabehi Wiroseco, sahabat dekat
dengan Pangeran Benowo (putra Sultan Hadwijoyo). Tokoh ini hanya
menjabat sebentar karena meninggal dunia dan tidak meninggalkan putra.
Setelah itu RadenMgabehi Wiroseco digantikan oleh tokoh yang mempunyai
nama sama, yaitu Wiroseco, yang semula penguasa jepara. Tapi Raden
Wiroseco yang satu ini memng tidak lama berkuasa di kendal, karena atas
usul VOC ia ditarik lagi ke jepara. maka dari tahun (1629 - 1641),
jabatan bupati kendal dijabat oleh dua orang, dengan nama yang sama,
yaitu Raden Ngabehi Wiroseco(catatan Amen budiman, Menyingkap Sejarah
Kendal seri V).
3. Raden Ngabehi Mertoyudo (1641 - 1649)
Bangsawan
asal Mataram. Dan pada awal pemerintahanya, Kerajaan Mataram telah
terjadi alih kekuasaan dari Sultan Agung (1645) kepada puteranya, Sultan
Amanfkurat I.
4. Raden Ngabehi Wongsodiprojo (1649 - 1650)
Bangsawan asal Mataram. Menjabat baru beberapa bulan sudah wafat.
5. Raden Ngabehi Wongsowiroprojo (1650 - 1661)
Putera dari Raden Ngabehi Wongsodiprojo (Bupati ke -4)
6. Raden Ngabehi Wongsowirosroyo (1661 - 1663)
Putera dari Raden Ngabehi Wongsodiprojo (Bupati ke -5)
7. Tumenggung Singowijoyo I atau Singowonggo (1663 - 1668)
Putera
dari Raden Ngabehi Wosongwirosroyo (Bupati ke -6). Pada tahun 1677 di
utus Sunan Amangkurat I untuk memulihkan keadaan di jakarta sehubungan
dengan aksi orang- orang cina yang melawan belanda. dan tahun 1677 ini
pula terjadi alih kepemimpinan mataram dari Sunan Amangkurat I ke
Adipati Amon atau sunan amangkurat II, dan Tumenggung Singowijoyo I
wafat 1688,tanpa sakit.
8. Tumenggung Mertowijoyo I (1688 - 1700)
Putera
Raden Tumenggung Ngabehi Singowijoyo I (Bupati ke -7) wafat 1694, dan
selanjutnya diwakili oleh pamannya yang (juga) bernama Singowijoyo,
hingga 1700. Nama Tumenggung Mertowijoyo juga ditemukan dalam buku Babad
Mentawis dan Serat Babad negari semarang. Seperti dituturkan oleh Amen
Budiman Bahwa Tumenggung Mertowijo tewas dalm peristiwa geger
pakunegaran di wilayah kedu, kelihatannya mendapat dukungan dari babad
Mentawis. Sebab buku itu menerangkang bahwa Tumenggung Mertowijoyo ambil
bagian secara aktif dalam peristiwa tersebut. Sedangkang dalam serat
babad negeri semarang diterangkan bahwa nama Tumenggung Mertowijoyo erat
hubungannya dengan Ki Ageng Pandan Aran Atau Ki mode pandan.
diterangkang lagi bahwa garis nasab Mertowijoyo dimulai dari pangeran
Kanoman, adik Sunan Tembayat. bila catatan itu sesuai dengan yang
dimaksud, maka Tumenggung Mertowijoyo ada garis Lurus dengan Sultan
Akbar AL- Fatah dari Kerajaan Demak.
9. Tumenggung Mertowijoyo II (1700 - 1725)
Adik
dari Raden Tumenggung Singowijoyo I (Bupati KE-7), atau Paman dari
Tumenggung Mertowijoyo I. Tumenggung Mertowijoyo II ini juga di sebut
Kyai Kendil Wesi, karena punya pusaka berwujud kendil yang terbuat dari
besi. wafat tahun 1725 dan dimakamkan dipemakaman pakucen, kebondalem,
kecamatan kota kendal, sedangkang pusakanya dimakamkan dipesarean
Doropayung, sukolilan, patebon , kendal. Dua tahun setelah Tumenggung
Mertowijoyo II di angkat, tahun 1703 Sunan Amangkurat II meninggal
dunia, dan di ganti puterannya, Sunan Mas, yang bergelar Sunan
Amangkurat III. Pada masa keemasan, Murah sandang dan murah pangan
10. Tumenggung Mertowijoyo III (1725 - 1739)
Putera
Tumenggung Mertowijoyo I (Bupati ke - 8), dimakamkan di pesarean
Doropayung - patebon - kendal, bersebelahan dengan makam pusaka kendil
wesi. Bisa jadi pusaka itu diserahkan oleh Tumenggung Mertowijoyo II
kepada puteranya, Tumenggung Mertowijoyo III, sebagai adat kelangsungan
pemerintah, sebagaimana dulu Kyai Plered diwariskan kepada Sultan Agung.
11. Tumenggung Singowijoyo II (1739 - 1754)
Putera
kedua dari Tumenggung Singowijoyo I (bupati ke-9), dimakamkan di Loji
Wurung Semarang. Jabatan bupati kosong, diwakili oleh Patih
Mertomenggolo asal Jepara sampai tahun 1755.
12. Tumenggung Soemonegoro I (1755 - 1780)
Putera
dari Adipati Soerohadimenggolo, Adipati Semarang, 1755 - 1780. Ketika
itu di Mataram terjadi Perjanjian Gianti. Mataram dibagi menjadi dua;
Yogyakarta dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan
Hamengku Buwono I. Sedangkan Surakarta dikuasai oleh keturunan Paku
Buwono II, yang kemudian digantikan oleh puteranya Paku Buwono III.
13. Tumenggung Soemonegoro II (1780 - 1785)
Putera Adipati Soemonegoro I (bupati ke-12). Didampingi seorang patih bernama Ronggodipowongso, yang menjabat patih hingga 1880.
14. Tumenggung Soerohadinegoro II (1780 - 1785)
Putera kedua Adipati Soemonegoro I (bupati ke-12)
15. Raden Tumenggung Prawirodiningrat I
Semula
bupati Demak (1896 - 1811). Setelah Adipati Prawirodiningrat wafat,
selama dua tahun pemerintahan Kabupaten Kendal dilaksanakan oleh Patih
Wiromenggolo hingga 1813. Pada tahun 1811, pemerintah Inggris membangun
jalan raya Dandels yang melalui Kaliwungu - Kendal. Atas usul Patih
Wiromenggolo, ibukota Kabupaten Kaliwungu akan dipindahkan ke Kota
Kendal dengan alasan:
Letak Kaliwungu kurang strategis karena sering
dilanda banjir, sedangkan sebelah selatan terdiri tanah yang
berbukit-bukit. Kota Kendal tanahnya datar dan cukup luas, letaknya juga
dekat pantai yang baik. Pada tahun 1812 pemerintah Inggris menyetujui
pemindahan ibukota tersebut. Untuk pertama kali rumah kabupaten/pendopo
dibangun menghadap ke Jalan Dandels, yang kemudian disebut Jalan
Pungkuran dan sekarang dinamakan Jalan Pemuda. Pada tahun 1813,
pemerintah Inggris menobatkan putera alamarhum Tumenggung
Prawirodiningrat I sebagai Bupati Kaliwungu terakhir dan Bupati Kendal
yang pertama (hapusnya istilah/sebutan Kabupaten Kaliwungu) dengan gelar
Pangeran Ario Prawiradiningrat II.
16. Raden Tumenggung Prawirodiningrat II (1813 - 1830)
Putera
dari R.T. Prawirodiningrat I (Bupati ke-15). Dan mulai tahun 1829,
bergelar Pangeran Haryo (PH), wafat tahun 1830, dimakamkan di
Protowetan. Gelar Pangeran Haryo diperoleh karena adipati Kaliwungu ini
membantu Belanda ketika perang Diponegoro. Selanjutnya pemerintahan
dijalankan oleh Patih Kaliwungu hingga tahun 1832. Dan Patih Kaliwungu
ini juga disebut Tumenggung Kasepuhan, rumah terakhir kepatihan
Kaliwungu, wafat tahun 1434, dimakamkan di Protowetan, Kaliwungu.
Bersamaan dengan pemerintahan Prawirodiningat II, Pulau Jawa dikuasai
oleh Inggris, dan Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal.
17. Raden Tumenggung Purdadiningrat atau Prododingrat (1832 - 1850)
Menantu
R.T Prawirodiningrat II, 1832 - 1850. Mungkin karena dipandang sangat
memebahayakan Belanda, maka Bupati Kendal ini diasingkan ke Manado.
Sehingga oleh masyarakat disebut Adipati Kendhang.
18. KRT. Soerohadiningrat atau soerohadi diningrat atau Sosrodiningrat (1850 - 1857)
Berasal dari Gresik, kemudian tahun 1857 dipindah ke Purbolinggo.
19. Pangeran Ario Notoproto atau Notohamiprojo (1857 - 1890)
Wafatnya dimakamkan di Protowetan.
20. Raden Mas Adipati Notonegoro (1891-1914)
Putera Pangeran Adipati (bupati ke-19), diangkat tahun 1891, wafat tahun 1914, dimakamkan di Protowetan.
21. Raden Mas Adipati Aryo Notohamijoyo (1914 - 1938)
Putera
dari RMA. Notonegoro (bupati ke-20). Nama aslinya Raden Muhammad. Wafat
Desember 1949. Karena ada halangan, diwakili oleh patih Kendal, Raden
Notomoedigdo.
Pada waktu pemerintahan Adipati Aryo Nothamiprojo,
Pemerintah Belanda mulai memberi wewenang kepada bupati untuk bertindak
sebagai College van commomiteerden seperti Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan kemudian ada lagi satu lembaga yang
mengurusi keuangan desa dan pasar-pasar. Lembaga ini berjalan mulai
tahun 1939.
22. Raden Mas Purbonegoro atau Poerboatmojo Adisoerjo (1939 - 1942)
23. Patih Kendal, Raden Koesumohoedojo (1942 - 1945)
24. Soekarmo, anggota Syusangiin,
25. Raden Poeslam,
26. Raden Prajitno Partididjojo,
27. Raden soedjono,Bupati Blora (1957 - 1960)
28. Raden Abdurrachman,
29. Raden Gondopranoto,
30. Raden Salatoen, (1960 -1965)
31. Mayor R. Sunardi, Dandim Kendal, (1965 -1967)
32. Letkol RM Soeryosuseno, (1967 -1972)
33. Drs. H. Abdussaleh ranawijaya, (1972 - 1979)
34. Drs. H. Herman Soemarmo, (1979 - 1984)
35. H Soedono Jusuf, BA (1984 - 1989)
36. H Soemojo Hadiwinoto, SH (1989 - 1999)
37. Drs. H. Djoemadi (1999 - 2000)
38. H. Hendy Boedoro, SH, MSi (2000 - 2008)
39. Dr. Hj. Widya Kandi Susanti,
MM. CD.
Sumber: http://gokendal.weebly.com/sejarah-kota-kendal.html 28/9/2013 1.22