BATU DAN PASIR
Hari
itu senyumku terlihat berbeda. Senyum yang lebih ceria dari biasanya. Ketika aku
mulai mengerti tentang arti persahabatan. Yah, aku telah menemukan sahabat
baruku. Dia bernama Tika. Tika adalah teman sekelasku. Orangnya baik dan asyik.
Kami
selalu mengukir keindahan di atas batu agak tak pernah hilang dan akan selalu
terkenang. Semua pertentanganku dengan Tika juga selalu ku ukir di atas pasir
agar terhapus oleh ombak.
Matahari
sudah mengintip dari jendela kamarku. Aku beranjak dari tempat tidur dan mulai
menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah.
Sesampainya
di sekolah aku bertemu dengan kawan-kawanku yang sedang asyik berbagi cerita.
Ku sapa mereka dengan ramah “Selamat pagi teman-teman J”.
“Pagi”, jawab mereka dengan singkat. Aku langsung duduk dan meletakkan tasku di
bangku. Tak lama aku menunggu, bel berbunyi. Jam pelajaran akan dimulai.
Ku
dengar hentakan sepatu guruku yang menuju ke kelasku. Aku sudah siap untuk
menerima pelajaran yang akan diajarkan oleh Bu Dewi. Tika yang duduk di
sebelahku memulai percakapan, membahas tentang pelajaran kali ini.
Karena
kami terlalu asyik, tak terasa bel istirahat berbunyi. Aku dan Tika serta
kawan-kawan bergegas membeli makanan yang sudah disiapkan oleh ibu kantin.
Seusai makanan ku ambil dari kantin, aku dan Tika kembali ke kelas. Kami
melahap makanan yang telah kami beli sambil berbincang-bincang serta diiringi
dengan canda tawa.
Tiba-tiba
Rena datang dan menyapaku. Lalu sedikit malu-malu Rena menyeruput es yang aku
genggam. Aku dan Sopi sejenak terdiam melihat ulah Rena yang sungguh membuat
kami tertawa geli. Tapi Rena tidak menghiraukan responku dan Tika. Dia malah
mengambil makanan yang ada di mejaku.
Waktu
istirahat habis. Belum sempat aku membereskan bungkus makananku, Rena sudah
terlebih dulu mengambil dan membuang ke tempat sampah.
Pelajaran
dilanjutkan. Materi demi materi ku terima dan jari-jariku yang lihai mulai
menyalinnya dengan tinta hitam di atas kertas.
Tepat
pukul 13.00, semua siswa mulai bergegas-gegas memasukkan peralatan tulisnya ke
dalam tas. Setelah selesai berdo’a, aku dan Tika meninggalkan ruang kelas.
Kami
berdua melangkahkan kaki sambil bergandengan tangan dengan ceria untuk menuju
ke taman. Tak jauh kami melangkah, taman sudah berada di depan mata. Ku lihat
batu yang dikelilingi oleh bunga-bunga yang indah. Tiba-tiba terlintas di
benakku untuk mengukir semua keindahan tentangku dan Tika. Kami mengambil paku
yang terletak tak jauh dari taman. Kami mulai menggoreskan paku itu di atas
batu yang melukiskan dua orang sahabat sedang bergandengan tangan yaitu aku dan
Tika. Agar keindahan yang kami rasakan akan selalu terkenang.
Waktupun
terus berjalan. Aku dan Tika menjalani hari-hari yang dihiasi dengan canda dan
tawa. Begitu pula sudah banyak ukiran yang kami buat di atas batu yang
mengisahkan tentang kebahagiaanku dengan Tika.
Tapi
semuanya berubah ketika sahabatku sudah tak seperti dulu lagi. Aku tak mengerti
apa yang terjadi. Tawa serta canda itu seolah hilang entah kemana.
Sang
mentari mulai bersinar, tapi aku tak bisa tersenyum ceria seperti biasanya.
Di
ruang kelas, ku tengok bangku di sebelahku. Tapi aku tak melihat Tika. Aku
berdiri dan memandang di sekelilingku. Pandanganku terhenti pada sudut ruangan
dimana Tika duduk di bangku belakang paling pojok. Ku hampiri Tika yang duduk
sendiri dan ku tepuk pundak Tika yang pandangannya kosong. Tika terkejut lalu menengok
ke arahku. “Tika mengapa kamu membiarkanku duduk sendiri?”, tanyaku. “Tak apa,
aku hanya ingin duduk di sini”, jawabnya. “Apa yang terjadi denganmu? Apa kamu
ada masalah?”, tanyaku lagi. “Tidak, aku baik-baik saja”, jawab Tika tanpa
senyuman sedikitpun. Aku memutuskan kembali ke tempat dudukku karena ibu guru
sudah siap untuk menyampaikan materinya.
Hari
ini aku tak fokus dalam menerima pelajaran. Aku masih bingung dengan sikap
Tika. Pada saat istirahat tiba, ku lihat Tika sudah tidak ada di bangkunya. Aku
berusaha bertanya pada teman-teman tapi mereka semua tidak tahu kemana perginya
Tika. Ku cari di beberapa tempat yang sering kami datangi, namun tak ku temukan
Tika.
Ketika
istirahat telah selesai, ku lihat Tika kembali ke kelas. Belum sempat aku
bertanya, bapak guru sudah berada di
depan kelas.
Semua
pelajaran yang aku terima hari ini tak satupun yang bisa ku tangkap. Aku selalu
memikirkan Tika yang tanpa sebab menjauhiku.
Rencananya,
sepulang sekolah nanti aku akan mengajak Tika untuk melukis kepedihan yang
tengah melanda persahabatan kami di atas pasir. Agar cepat-cepat terhapus oleh
ombak. Tapi semua tak seperti yang ku bayangkan. Tika sama sekali tak mau
menerima ajakanku.
Dengan
langkah kaki yang penuh kekecewaan, kakiku berpijak di bawah terik matahari
yang begitu menyengat kulitku. Aku tetap melangkah membawa kepedihan ini.
Suara
ombak telah ku dengar. Pasir lembut di tepi pantai telah ku lihat. Aku berdiri
menatap luasnya laut, yang mungkin andai itu tinta, tak kan habis untuk
melukiskan kisah persahabatanku dengan Tika. Ku ambil sebatang kayu, lalu ku
mulai menggoreskannya di atas pasir. Kata demi kata ku rangkai yang
menggambarkan tentang pertengkaranku dengan Tika.
“Pada
kotak seribu mimpi, aku dan kamu mengisinya dengan keindahan yang ada. Tapi,
kau hangatkan kotak nan indah itu. Bahkan kau isi dengan goresan luka yang
mendalam.”
Sedikit
demi sedikit ombak menghapus kata-kata itu. Hatiku perlahan mulai tersenyum.
Semoga Tuhan memberi kotak baru untukku dan Tika, agar dapat kami isi dengan
warna-warna yang indah dalam hidup kami.
Raja
siang mulai meredup. Pancarannya tak lagi menusuk kulitku. Rasanya aku ingin
cepat kembali ke rumah dan menyantap hidangan serta minuman yang telah
disiapkan oleh bunda.
Tak
ku duga, aku melihat Tika bersama Siska, anak yang seperti tak punya aturan
hidup. Saat itu rasaku bercampur aduk. Aku ingin memarahinya tapi aku sayangg
Tika. Aku ingin membentaknya tapi dia sahabatku. Lalu ku panggil Tika dengan
nada lembut. Tapi Tika hanya menoleh dan tidak menjawab panggilku untuknya.
Rasanya aku ingin menangis. Aku tak percaya. Aku tak mengerti Tika membiarkanku
begitu saja. Tak seperti biasanya dia bersikap seperti itu padaku.
Hari
demi hari telah ku lewati. Sikap Tika semakin menjadi-jadi. Tika selalu bermain
dengan Siska yang sebelumnya tak pernah dia sukai sama sekali. Karena menurutku
Siska adalah seorang yang tidak pernah dikenalkan kasih sayang orang tua. Aku
semakin terbelenggu dengan rasa penasaranku pada Tika. Akhirnya ku putuskan
untuk menanyakan hal ini pada salah satu teman Tika yang juga sering bermain
dengan Siska dan Tika.
Ternyata
Tika sedang memiliki masalah yang berat baginya. Dia tak lagi merasakan kasih
sayang dari orang tuanya. Karena orang ketiga masuk dalam kebahagiaan keluarga
Tika. Ini yang menyebabkan Tika kehilangan semangat hidupnya dan mulai
terjerumus ke dalam hal-hal yang negative.
Aku
selalu mencoba bertanya kepada Tika, tapi dia menjawab seakan-akan keadaan
baik-baik saja, tak ada masalah. Namun aku tidak menyerah begitu saja, aku
tetap menanyakan keadaan Tika yang sebenarnya.
Pada
akhirnya, Tuhan mengabulkan do’aku. Tika mengirim pesan padaku yang berisikan “
Aku rindu akan semua itu. Balutan kasih sayang serta ketulusan dari orang
tuaku. By: Tika yang selalu menyayangi Yoshi”. Kemudian ku putuskan untuk
menemui Tika.
Ku
datangi rumah Tika yang berada tak jauh dari rumahku. Tapi aku tak
menemukannya. Satu jam sudah aku menunggu diruang tamu. Namun Tika tak kunjung
datang. Perasaan gelisah ini selalu mengikutiku. Aku rindu semua keindahan
persahabatanku. Akhirnya aku pergi ke taman untuk melihat ukiran-ukiran canda
tawa di atas batu yang telah aku buat bersama Tika.
Wajahku
mulai tersenyum. Kulihat Tika yang sedang duduk di taman. Aku menepuk pundak
Tika dan duduk di sampingnya. Tika menangis dan memelukku. Tika yang sering
membiarkanku, kini dia mau berbagi kesedihannya padaku. Aku merasakan suasana
yang seperti dulu lagi. Ketika kami berdua bersama-sama. Jarum jam terus
berputar. Kata demi kata dia ucapkan. Dan aku memberikan solusi agar Tika tak
pernah berfikir negative tentang masa depannya. Karena langkah kakinya tak
terhenti sampai di sini saja. Tapi akan terus berjalan hingga Tika menemukan
jati dirinya.
Sekarang
aku dan Tika kembali seperti dulu dan kami bisa melukis keindahan di atas batu
lagi