
 
Bung
 Karno memang tokoh terkemuka yang serba unik. Manyur Suryanegera, 
seorang sejarawan dari Universitas Padjajaran Bandung mencatat, Bung 
Karnolah satu-satunya presiden di dunia yang minta jenazahnya diselimuti
 bendera Muhammadiyah; bukan Sang Saka Merah Putih, betapapun 
nasionalisnya dia sepanjang hidup.Tapi dari Bung Karno pula lahir 
pemikiran kontroversial yang berhasrat menyatukan nasionalisme, agama 
dan komunisme. Bila berpidato tentang nasionalisme, Bung Karno berperan 
jadi Bapak Bangsa. Bila berpidato tentang Islam, Bung Karno laksana 
pemimpin muslim. Bila berpidato tentang komunisme, Bung Karno adalah 
marxis sejati. Nampaknya apapun akan ia katakan untuk sebuah Indonesia 
yang besar dan disegani. 
Rosdiansyah, seorang wartawan, penulis dan aktivis yang berdomisili di 
Surabaya, menuliskan jalinan kuat antara perjalanan hidup Soekarno 
dengan pemikiran-pemikirannya. Silakan dinikmati. 
Sukarno & Sukarnoisme 
Sukarno banyak dipuja-puji masyarakat Indonesia. Ia yang lahir pada 6 
Juni 1901 dari ayah, seorang priyayi jawa bernama Raden Sukemi 
Sosrodiharjo, sangat kental diwarnai sinkretisme ajaran Kejawen. Ayahnya
 menemukan jodoh di Bali, yakni Idayu Nyoman Rai, seorang wanita dari 
kasta Brahmana. Perkawinan itu tidak direstui oleh keluarga Idayu karena
 sang mempelai pria bukan dari keturunan Brahmana. Di Bali, Raden Sukemi
 yang mendapatkan sertifikat untuk mengajar sekolah pribumi, sempat 
menjadi asisten professor Van Der Tuuk, Sarjana Belanda ahli bahasa 
Indonesia, yang giat meneliti bahasa Bali. Kakak perempuan Sukarno, 
Soekarmini, lahir di Singaraja-Bali, sedangkan Sukarno sendiri lahir di 
Surabaya dengan nama Kusno Sosro Sukarno.
Sukarno kecil sangat menyukai pertunjukan wayang kulit dengan 
kisah-kisah dari Ramayana maupun Mahabarata. Ia sangat terpengaruh oleh 
kisah-kisa tersebut. Sehingga Sukarno sangat menyerap ajaran-ajaran 
Kejawen yang diutarakan lewat wayang. Ia mendapatkan semua itu dari 
kakeknya, Raden Hardjodikromo di Tulungagung, dari ayahnya di Mojokerto 
dan juga dari Wagiman, seorang petani. Melalui ayahnya pula, Sukarno 
diperkenalkan pada ajaran-ajaran teosofinya Annie Besant, Madame 
Blavatsky dan WQ Judge. Teosofi ini sangat abstrak dan tidak jelas mana 
agama yang benar, yang jelas didalam teosofi ini semua agama dianggap 
benar. Kelak, ketika Sukarno telah menjadi presiden, ajaran-ajaran 
tersebut sangat berpengaruh dalam mewarnai kebijakan politik, sosial, 
ekonomi dan kebudayaan.
Pada 1914, Sukarno mulai masuk ke ELS (Europe Lagere School) dimana ia 
mempelajari beberapa bahasa asing. Salah seorang gurunya memberikan nama
 panggilan Karel buat Sukarno. Selanjutnya, di tahun 1916, Sukarno 
belajar HBS (Hogere Burger School) di Surabaya. Ia dititipkan pada HOS 
Cokroaminoto, seorang nasionalis muslim yang kharismatik. Dari 
Cokroaminoto, Sukarno mempelajari seni pidato dan retorika. Sekaligus ia
 meminta ijin untuk mengambil gambar Banteng dari keseluruhan lambang 
Sarekat Islam, untuk kelak dijadikan lambang gerakannya. Kehidupan 
bersama Cokroaminoto inilah yang kemudian memperkenalkan Sukarno pada 
aspek-aspek penting dari paham kebangsaan, fenomena politik dan taktik 
memobilisasi massa.
Di Surabaya, Sukarno mulai berkenalan dengan aktivitas Indies Communist 
Party yang merupakan kelanjutan dari ISDV (Indische Sociaal-Democrat 
Vereniging) yang didirikan tahun 1914 dan dipimpin oleh Hendrik 
Sneevliet. Sedangkan pemahaman Sukarno tentang Marxisme pertama kali 
diberikan oleh Alimin, yang bersama Semaun telah memporak-porandakan 
organisasi Sarekat Islam. Selain itu, Sukarno juga berkenalan dengan 
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro) yang mendirikan Taman Siswa. 
Dari Suwardi, Sukarno mempelajari banyak kebudayaan Jawa pra-Islam. 
Tahun 1921, ia melanjutkan studinya di Technisch Hooge School (THS) 
Bandung dan pernah menghadiri kongres PKI tahun 1923 yang 
diselenggarakan dikota tersebut. 
Marhaenisme 
Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin
 yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani 
miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi 
gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan
 pasti – sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja – kapan 
pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang 
mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya 
rekaan Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti. Namun, yang jelas, Sukarno
 mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada 
Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan 
Marxisme yang diterapkan di Indonesia.
Sejak 1932, ideologi Marhaenisme telah mewarnai wacana politik di 
Indonesia. Dalam bukunya berjudul Indonesia Menggugat, Sukarno sangat 
menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah gerakan ideologis.
 Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan 
pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip 
gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepak-terjang kaum 
Marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni 
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip 
itu, Sukarno telah mengadopsi pemikiran dari Jean Jaurhs (sosialis) dari
 Perancis dan Karl Kautsky (komunis) dari Jerman. Ajaran Jaurhs yang 
melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Sukarno untuk 
mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin 
revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang 
politik.
Sedangkan dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan 
bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang 
tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya 
yang berjudul “Dibawah Bendera Revolusi”, Sukarno benar-benar 
terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak perlu 
untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai 
benar-benar produk masyarakat borjuis.
Selanjutnya Sukarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi 
revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki 
Sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Namun, 
pada 26 November 1932 di Yogyakarta, Sukarno menandaskan bahwa Partai 
Indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya pertarungan 
kelas. Disini jelas Sukarno memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya 
dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak 
terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas.
Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme 
berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang 
memperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) 
pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada 
disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini 
Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah 
menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi 
diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan 
penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki
 massa besar.
Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang 
membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, 
ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat 
radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. 
Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung
 bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati 
tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme. 
Sesudah Kemerdekaan 
Sukarno yang sudah dihinggapi sifat anti-demokrasi jelas tidak bisa 
menerima sepenuh hati perjuangan menegakkan demokrasi. Praktek demokrasi
 parlementer diawal kemerdekaan yang dipenuhi aspirasi masyarakat 
dihapuskannya begitu saja dengan tudingan telah menjiplak demokrasi 
borjuis. Akibatnya, kekecewaan terhadap Sukarno memuncak menjadi 
pemberontakan. Apalagi sikap kekiri-kiriannya yang kental telah 
menjadikan Sukarno hendak membangun aliansi internasional dengan 
negara-negara komunis (Cina dan Uni Sovyet). Sesudah kunjungannya ke 
Cina ditahun 1956, Sukarno tampak sangat mengagumi Mao Tse Tung, dan 
terutama Chou En Lai. Sedangkan hubungannya dengan Hatta makin menjauh. 
Dalam sebuah kesempatan bertemu dengan dubes AS Hugh S. Cumming 27 
Februari 1957, Hatta menceritakan kekurang-pahaman Sukarno dalam 
mencermati perkembangan demokrasi parlementer.
Sukarno yang awalnya sangat akrab dengan Mohammad Natsir, tokoh Masyumi,
 mendadak berubah sesudah terjadi perbedaan pandangan politik. Sukarno 
membangun opini politis yang menyebutkan bahwa gagasan mendirikan 
“negara” Islam jauh lebih berbahaya daripada sebuah rezim komunis. Opini
 bertambah kencang dihembuskan saat dikait-kaitkan dengan kelompok 
DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Tanpa ada upaya untuk memahami 
latar-belakang terjadinya pemberontakan tersebut, yang sebenarnya 
merupakan reaksi atas perjanjian Renville Januari 1948. Dimana 
perjanjian itu telah memperbolehkan tentara Belanda kembali masuk 
kedalam wilayah Jawa Barat.
Begitupula dengan pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan 
Tengku Daud Beureu’eh di Banda Aceh, yang sesungguhnya merupakan reaksi 
atas sikap-sikap arogan dan anti-demokrasi dari Sukarno. Namun, 
kelihaian berpolitik kelompok Sukarno justru membalik fakta dan 
menciptakan citra buruk atas pemberontakan diatas.
Poros Jakarta-Pyongyang-Peking yang dibangun saat Sukarno sangat akrab 
dengan PKI telah menjadikan posisi Indonesia makin terpencil dari dunia 
internasional. Sembari menindas kekuatan demokrasi, Sukarno memprakarsai
 demokrasi terpimpin (1959-1965) yang sangat jelas merupakan 
kediktatoran. Untuk mengabadikan kekuasaannya, Sukarno banyak 
memproduksi simbol-simbol Jawa agar bisa diterima oleh masyarakat 
Indonesia, khususnya Jawa. Sedangkan hubungan Indonesia dengan 
negara-negara tetangga juga mengalami kemunduran dengan dicetuskannya 
“ganyang Malaysia”.
Sukarno mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah dalam negeri 
dengan mencari musuh di luar-negeri. Berbagai slogan dan propaganda 
politik diproduksi hanya semata untuk memenuhi hajat Sukarno berkuasa. 
Mobilisasi massa dikerahkan untuk dikirim sebagai 
sukarelawan/sukarelawati menghadapi satuan-satuan tempur elit Inggris 
(SAS) di Kalimantan Utara. Bahkan untuk memobilisasi sukarelawati 
menggayang Malaysia, Sukarno perlu mengeluarkan Kepres tahun 1964 yang 
menjadikan Kartini sebagai sosok wanita pejuang Indonesia. Ribuan nyawa 
melayang hanya untuk menjadi korban ambisi politik Sukarno. Bahan-bahan 
indoktrinasi dari Sukarno telah melahirkan sebuah ajaran baru selain 
Marhaenisme. Yaitu Sukarnoisme, yang merupakan ajaran bersumber dari 
pemikiran-pemikiran Sukarno.
Sukarnoisme banyak diminati oleh mereka yang terpesona pada kharisma 
Bung Karno (BK), selain juga ada yang mempelajarinya diluar konteks 
keterpesonaan tersebut. Bung Karno sendiri memang sosok besar dalam 
sejarah perjalanan bangsa Indonesia, sehingga wajar jika dia ditempatkan
 dalam sejarah sebagai proklamator dan sering dipuja. Tapi, kelompok 
Soekarnois telah sangat mengkultuskan sosok Soekarno hingga sangat tidak
 wajar sehingga cenderung kurang obyektif. Ajaran Soekarno disebarkan 
sembari memberangus prosedur demokrasi.
Di antara ajaran Sukarno yang menyangkut masalah sosial-politik dan 
sosio-ekonomi yang nampak sangat kuat berada didalam Manipol USDEK 
(Manifesto Politik Undang-Undang Dasar ‘45, Sosialisme Indonesia, 
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia), yang 
pada dekade ‘60-an menjadi bahan indoktrinasi pada masyarakat. 
Arahan-arahan yang dikandung dalam Sukarnoisme lalu dikembangkan 
sedemikian rupa oleh orang-orang dekat BK, demi kepentingan tertentu. 
Sehingga rakyat dihipnotis mengikuti apa yang diutarakan oleh Sukarno. 
Berbagai mitos-mitos bersifat politis diciptakan pula demi tetap 
mengabadikan kekuasaannya. Baik langsung maupun tidak langsung, banyak 
orang-orang yang kagum pada Sukarno lalu mendewa-dewakannya.
Kehadiran Sukarno diidentikkan dengan kehadiran Ratu Adil yang berjanji 
akan membawa rakyat Indonesia ke pintu gerbang kemakmuran dan 
kesejahteraan. Mitos lain menyebutkan adanya hubungan Sukarno kepada 
para leluhur masa lalu yang juga telah memegang kekuasaan. Semuanya itu 
bertujuan untuk tetap mengabadikan Sukarno sebagai lambang kekuasaan 
tunggal di Indonesia. Pemitosan Sukarno jelas kemudian sangat 
menguntungkan para politisi di sekitarnya.
* * * 
(Dari rubrik Sejarah, Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 1998). 
Sumber:http://dirmania-centre.blogspot.com/2010/03/soekarno-soekarnoisme.html